Wage Rudolf Supratman

Wage Rudolf Supratman (lahir di Jatinegara, Batavia, 9 Maret 1903 – meninggal di Surabaya, Jawa Timur, 17 Agustus 1938 pada umur 35 tahun) adalah pengarang lagu kebangsaan Indonesia, "Indonesia Raya" dan pahlawan nasional Indonesia.

Ayahnya bernama Senen, sersan di Batalyon VIII. Saudara Soepratman berjumlah enam, laki satu, lainnya perempuan. Salah satunya bernama Roekijem. Pada tahun 1914, Soepratman ikut Roekijem ke Makassar. Di sana ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik.
Soepratman lalu belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama tiga tahun, kemudian melanjutkannya ke Normaalschool di Makassar sampai selesai. Ketika berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar.
Beberapa waktu lamanya ia bekerja pada sebuah perusahaan dagang. Dari Makassar, ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Pekerjaan itu tetap dilakukannya sewaktu sudah tinggal di Jakarta. Dalam pada itu ia mulai tertarik kepada pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. Rasa tidak senang terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya dituangkan dalam buku Perawan Desa. Buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.
Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang. Di situ tidak lama lalu minta berhenti dan pulang ke Makassar lagi. Roekijem sendiri sangat gemar akan sandiwara dan musik. Banyak karangannya yang dipertunjukkan di mes militer. Selain itu Roekijem juga senang bermain biola, kegemarannya ini yang membuat Soepratman juga senang main musik dan membaca-baca buku musik.
W.R. Soepratman tidak beristri serta tidak pernah mengangkat anak.

Sewaktu tinggal di Makassar, Soepratman memperoleh pelajaran musik dari kakak iparnya yaitu Willem van Eldik, sehingga pandai bermain biola dan kemudian bisa menggubah lagu. Ketika tinggal di Jakarta, pada suatu kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.
Soepratman tertantang, lalu mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya, pada waktu itu ia berada di Bandung dan pada usia 21 tahun.
Pada bulan Oktober 1928 di Jakarta dilangsungkan Kongres Pemuda II. Kongres itu melahirkan Sumpah Pemuda. Pada malam penutupan kongres, tanggal 28 Oktober 1928, Soepratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental di depan peserta umum (secara intrumental dengan biola atas saran Soegondo berkaitan dengan kondisi dan situasi pada waktu itu, lihat Sugondo Djojopuspito). Pada saat itulah untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya dikumandangkan di depan umum. Semua yang hadir terpukau mendengarnya. Dengan cepat lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional. Apabila partai-partai politik mengadakan kongres, maka lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan. Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka.
Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan, lambang persatuan bangsa. Tetapi, pencipta lagu itu, Wage Roedolf Soepratman, tidak sempat menikmati hidup dalam suasana kemerdekaan.
Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya, ia selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda, sampai jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang terakhir "Matahari Terbit" pada awal Agustus 1938, ia ditangkap ketika menyiarkan lagu tersebut bersama pandu-pandu di NIROM Jalan Embong Malang, Surabaya dan ditahan di penjara Kalisosok, Surabaya. Ia meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 karena sakit.

Hari kelahiran Soepratman, 9 Maret, oleh Megawati Soekarnoputri saat menjadi presiden RI, diresmikan sebagai Hari Musik Nasional. Namun tanggal kelahiran ini sebenarnya masih diperdebatkan, karena ada pendapat yang menyatakan Soepratman dilahirkan pada tanggal 19 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Pendapat ini – selain didukung keluarga Soepratman – dikuatkan keputusan Pengadilan Negeri Purworejo pada 29 Maret 2007.


 

sumber : http://www.pahlawannasional.com/

Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim

Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim (lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914 – meninggal di Cimahi, Jawa Barat, 19 April 1953 pada umur 38 tahun) adalah pahlawan nasional Indonesia dan menteri negara dalam kabinet pertama Indonesia. Ia adalah ayah dari presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid dan anak dari Hasyim Asy'arie, salah satu pahlawan nasional Indonesia. Wahid Hasjim dimakamkan di Tebuireng, Jombang.
Pada tahun 1939, NU menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), sebuah badan federasi partai dan ormas Islam di zaman pendudukan Belanda. Saat pendudukan Jepang yaitu tepatnya pada tanggal 24 Oktober 1943 beliau ditunjuk menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menggantikan MIAI. Selaku pemimpin Masyumi beliau merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Selain terlibat dalam gerakan politik, tahun 1944 beliau mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A. Kahar Muzakkir. Menjelang kemerdekaan tahun 1945 ia menjadi anggota BPUPKI dan PPKI.
Wahid Hasyim dengan segudang pemikiran tentang agama, negara, pendidikan, politik, kemasyarakatan, NU, dan pesantren, telah menjadi lapisan sejarah ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang tidak dapat tergantikan oleh siapapun.
Wahid Hasjim adalah salah satu putra bangsa yang turut mengukir sejarah negeri ini pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia.Terlahir Jumat Legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 Hijriyah atau 1 Juni 1914, Wahid mengawali kiprah kemasyarakatannya pada usia relatif muda. Setelah menimba ilmu agama ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Mekah, pada usia 21 tahun Wahid membuat “gebrakan” baru dalam dunia pendidikan pada zamannya. Dengan semangat memajukan pesantren, Wahid memadukan pola pengajaran pesantren yang menitikberatkan pada ajaran agama dengan pelajaran ilmu umum.Sistem klasikal diubah menjadi sistem tutorial. Selain pelajaran Bahasa Arab, murid juga diajari Bahasa Inggris dan Belanda. Itulah madrasah nidzamiyah.
Meskipun ayahandanya, hadratush syaikh Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama, butuh waktu beberapa tahun bagi Wahid Hasjim untuk menimbang berbagai hal sebelum akhirnya memutuskan aktif di NU. Pada usia 25 tahun Wahid bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), federasi organisasi massa dan partai Islam saat itu. Setahun kemudian Wahid menjadi ketua MIAI.
Karier politiknya terus menanjak dengan cepat. Ketua PBNU, anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), hingga Menteri Agama pada tiga kabinet (Hatta, Natsir, dan Sukiman). Banyak kontribusi penting yang diberikan Wahid bagi agama dan bangsa.
Rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila sebagai pengganti dari "Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya" tidak terlepas dari peran seorang Wahid Hasjim. Wahid dikenal sebagai tokoh yang moderat, substantif, dan inklusif.
Wahid Hasjim meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota Cimahi tanggal 19 April 1953.




sumber :  http://www.pahlawannasional.com/

Wahidin Sudirohusodo

Dr. Wahidin Sudirohusodo (lahir di Mlati, Sleman, Yogyakarta, 7 Januari 1852 – meninggal di Yogyakarta, 26 Mei 1917 pada umur 65 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Namanya selalu dikaitkan dengan Budi Utomo karena walaupun ia bukan pendiri organisasi kebangkitan nasional itu, dialah penggagas berdirinya organisasi yang didirikan para pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen Jakarta itu.
Dokter lulusan STOVIA ini sangat senang bergaul dengan rakyat biasa, sehingga tak heran bila ia mengetahui banyak penderitaan rakyat. Ia juga sangat menyadari bagaimana terbelakang dan tertindasnya rakyat akibat penjajahan Belanda. Menurutnya, salah satu cara untuk membebaskan diri dari penjajahan, rakyat harus cerdas. Untuk itu, rakyat harus diberi kesempatan mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah. Sebagai dokter, ia sering mengobati rakyat tanpa memungut bayaran.
Dua pokok yang menjadi perjuangannya ialah memperluas pendidikan dan pengajaran dan memupuk kesadaran kebangsaan.

Wahidin Sudirohusodo sering berkeliling kota-kota besar di Jawa mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat sambil memberikan gagasannya tentang "dana pelajar" untuk membantu pemuda-pemuda cerdas yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Akan tetapi, gagasan ini kurang mendapat tanggapan.
Gagasan itu juga dikemukakannya pada para pelajar STOVIA di Jakarta tentang perlunya mendirikan organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan dan meninggikan martabat bangsa. Gagasan ini ternyata disambut baik oleh para pelajar STOVIA tersebut. Akhirnya pada tanggal 20 Mei 1908, lahirlah Budi Utomo.



sumber : http://www.pahlawannasional.com/

Yos Sudarso

Laksamana Madya Yosaphat Soedarso (lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 24 November 1925 – meninggal di Laut Aru, 13 Januari 1962 pada umur 36 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia gugur di atas KRI Macan Tutul dalam pertempuran Laut Aru melawan armada Belanda pada masa kampanye Trikora. Hal yang kurang lazim adalah, sebagai seorang Kepala Staff Angkatan Laut tidak seharusnya ia ikut terjun langsung di dalam operasi tersebut. Namanya kini diabadikan pada sebuah KRI dan pulau.


sumber : http://www.pahlawannasional.com/

Kiai Haji Zainul Arifin

Kiai Haji Zainul Arifin atau lengkapnya Kiai Haji Zainul Arifin Pohan (lahir di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, 2 September 1909 – meninggal di Jakarta, 2 Maret 1963 pada umur 53 tahun) adalah seorang politisi Nahdlatul Ulama (NU) terkemuka yang sejak remaja di zaman penjajahan Belanda sudah aktif dalam organisasi kepemudaan NU, GP Ansor, jabatan terakhirnya ialah ketua DPRGR sejak 1960 - 1963.

Zainul Arifin lahir sebagai anak tunggal dari keturunan raja Barus, Sultan Ramali bin Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan dengan perempuan bangsawan asal Kotanopan, Mandailing, Siti Baiyah boru Nasution. Ketika Zainul masih balita kedua orangtuanya bercerai dan ia dibawa pindah oleh ibunya ke Kotanopan, kemudian ke Kerinci, Jambi. Di sana ia menyelesaikan HIS (Hollands Indische School) dan sekolah menengah calon guru, Normal School. Selain itu, Arifin juga memperdalam pengetahuan agama di Madrasah di surau dan saat menjalani pelatihan seni bela diri Pencak Silat. Arifin juga seorang pecinta kesenian yang aktif dalam kegiatan seni sandiwara musikal melayu, Stambul Bangsawan sebagai penyanyi dan pemain biola. Stambul Bangsawan merupakan awal perkembangan seni panggung sandiwara modern Indonesia. Dalam usia 16 tahun Zainul merantau ke Batavia (Jakarta).

Berbekal ijazah HIS Arifin diterima bekerja di pemerintahan kotapraja kolonial (Gemeente) sebagai pegawai di Perusahaan Air Minum (PAM) di Pejompongan Jakarta Pusat. Di sana ia sempat bekerja selama lima tahun, sebelum akhirnya terkena PHK saat resesi global yang bermula di AS dan berdampak hingga ke wilayah Hindia Belanda. Keluar dari gemeente Arifin kemudian memilih bekerja sebagai guru sekolah dasar dan mendirikan pula balai pendidikan untuk orang dewasa, Perguruan Rakyat, di kawasan Meester Cornelis (Jatinegara sekarang). Zainul juga sering memberi bantuan hukum bagi masyarakat Betawi yang membutuhkan sebagai tenaga Pokrol Bambu, pengacara tanpa latar belakang pendidikan Hukum namun menguasai Bahasa Belanda. Selain itu ia pun aktif kembali dalam kegiatan seni sandiwara musikal tradisional Betawi yang berasal dari tradisi Melayu, Samrah. Ia sempat mendirikan kelompok samrah bernama Tonil Zainul. Dari kegiatan kesenian ini ia berkenalan dan selanjutnya sangat akrab bersahabat dengan tokoh perfilman nasional, Jamaluddin Malik yang kala itu juga bergiat dalam kegiatan Samrah. Kedua mereka kemudian bergabung dengan Gerakan Pemuda (GP) Ansor yang ketika itu memang aktif merekrut tenaga-tenaga muda.
Selama menjadi anggota GP Ansor inilah Arifin kemudian semakin meningkatkan pengetahuan agama dan ketrampilan berdakwahnya sebagai muballigh muda lewat pelatihan-pelatihan khas Ansor. Kepiawaian Zainul dalam berpidato, berdebat dan berdakwah ternyata menarik perhatian tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama, organisasi induk Ansor termasuk: Wahid Hasyim, Mahfudz Shiddiq, Muhammad Ilyas, dan Abdullah Ubaid. Hanya dalam beberapa tahun saja, Zainul Arifin sudah menjadi Ketua Cabang NU Jatinegara dan berikutnya sebagai Ketua Majelis Konsul NU Batavia. dan bekerja di perusahaan air minum (PAM) pemerintah kotapraja (gemeente). Di kota ini ia juga sempat menjadi guru sekolah di daerah-daerah Jatinegara dan Bukit Duri Tanjakan. Selain itu Arifin pernah pula menjalani profesi pokrol bambu, pengacara bumiputra yang tidak memerlukan pendidikan hukum formal. Tahun 1930-an ia mulai bergabung dengan Gerakan Pemuda Ansor dan beberapa tahun kemudian sudah aktif di organisasi induk NU, mula-mula sebagai Ketua Cabang Jatinegara dan akhirnya diamanahi sebagai ketua Majelis Konsul NU Jakarta hingga datangnya tentara Jepang tahun 1942.

Selama era pendudukan militer Jepang, Zainul Arifin ikut mewakili NU dalam kepengurusan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan terlibat dalam pembentukan pasukan semi militer Hizbullah.
Untuk menarik simpati warga hingga ke pedesaan, organisasi-organisasi Islam (utamanya NU) diberi kesempatan untuk lebih aktif terlibat dalam pemerintahan di bawah pendudukan militer Jepang. Zainul Arifin ditugaskan untuk membentuk model kepengurusan tonarigumi, cikal bakal Rukun Tetangga, di Jatinegara yang kemudian dibentuk pula hingga ke pelosok-pelosok desa di Pulau Jawa. Ketika Perang Asia Pasifik semakin memanas, Jepang mengizinkan dibentuknya laskar-laskar semi militer rakyat. Pemuda-pemuda Islam direkrut lewat jalur tonarigumi membentuk Hizbullah (Tentara Allah). Arifin dipercaya sebagai Panglima Hizbullah dengan tugas utama mengkoordinasi pelatihan-pelatihan semi militer di Cibarusa, dekat Bogor. Dalam puncak kesibukan latihan perang guna mengantisipasi terjadinya Perang Asia Pasifik, Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.

Zainul kemudian bertugas mewakili partai Masyumi di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), cikal bakal DPR-MPR, sambil terus memegang tampuk pimpinan Hizbullah yang sudah menjelma menjadi pasukan bersenjata. Selama masa Revolusi, selain mengikuti sidang-sidang BP KNIP yang berpindah-pindah tempat karena kegawatan situasi, Arifin juga memimpin gerakan-gerakan gerilya Laskar Hizbullah di Jawa Tengah dan Jawa Timur selama Agresi Militer I dan II. Dalam memimpin Laskar Hizbullah Zainul menggunakan jalur tonarigumi atau Rukun Tetangga yang dulu dibinanya hingga meliputi desa-desa terpencil di Jawa. Saat terjadi Agresi Militer II bulan Desember 1948, Belanda berhasil menjatuhkan Yogyakarta dan menawan Sukarno-Hatta. Dalam keadaan darurat, BP KNIP praktis tidak berfungsi. Arifin lantas terlibat sebagai anggota Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD), bagian dari Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Tugas utama Zainul melakukan konsolidasi atas badan-badan perjuangan yang melancarkan taktik gerilya di bawah komandan Jenderal Sudirman. Saat pemerintah melebur segenap pasukan bersenjata ke dalam satu wadah Tentara Nasional Indonesia, Zainul Arifin sempat dipercaya sebagai Sekertaris Pucuk Pimpinan TNI. Namun akhirnya, ketika banyak mantan anggota laskar Hizbullah yang dinyatakan tidak bisa diterima menjadi anggota TNI karena tidak berpendidikan "modern" dan hanya lulusan Madrasah, ia memilih mengundurkan diri dan berkonsentrasi meneruskan perjuangan sipil di jalur politik.

Setelah Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI akhir tahun 1949, Zainul Arifin kembali ke Parlemen sebagai wakil Partai Masyumi di DPRS dan kemudian wakil Partai NU ketika akhirnya partai kiai tradisionalis ini memisahkan diri dari Masyumi tahun 1952. Setahun sesudahnya, Arifin berkiprah di lembaga eksekutif dengan menjabat sebagai wakil perdana menteri (waperdam) dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I yang memerintah dua tahun penuh (1953-1955).
Untuk pertama kalinya dalam sejarah NU, tiga jabatan menteri (sebelumnya NU selalu hanya mendapat jatah satu posisi menteri saja) dijabat tokoh-tokoh NU dengan Zainul Arifin sebagai tokoh NU pertama menjabat sebagai waperdam. Kabinet itu sendiri sukses menyelenggarakan Konfrensi Asia Afrika di Bandung. Dalam tahun 1955 itu pula Zainul berangkat haji untuk pertama dan terakhir kali ke Tanah Suci bersama Presiden Sukarno. Di sana ia dihadiahi sebilah pedang berlapis emas oleh Raja Arab Saudi, Raja Saud. Sekembalinya dari sana Zainul merupakan salah satu tokoh penting yang berhasil menempatkan partai NU ke dalam "tiga besar" pemenang pemilu 1955, dimana jumlah kursi NU di DPR meningkat dari hanya 8 menjadi 45 kursi. Selain kembali ke parlemen sebagai wakil ketua I DPR RI, setelah pemilu 1955, Arifin juga mewakili NU dalam Majelis Konstituante hingga lembaga ini dibubarkan Sukarno lewat dekrit 5 Juli 1959 karena dipandang gagal merumuskan UUD baru. Pasca Dekrit, Indonesia dinyatakan kembali ke UUD 1945 dan memasuki era Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu terjadi pemusatan kekuasaan pada diri Presiden yang berkeras untuk menerapkan faham NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang menyudutkan partai-partai agama yang tidak ingin Partai Komunis Indonesia (PKI) berkembang di Indonesia.

Sejak proklamasi kemerdekaan Zainul Arifin langsung duduk dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), cikal bakal lembaga legislatif MPR/DPR. Hingga akhir hayatnya Arifin aktif di parlemen mewakili partai Masyumi dan kemudian partai NU setelah NU keluar dari Masyumi pada 1952. Hanya selama 1953-1955 ketika menjabat sebagai wakil perdana menteri dalam kabinet Ali-Arifin (Kabinet Ali Sastroamijoyo I) Zainul terlibat dalam badan eksekutif. Kabinet di era Demokrasi Parlementer ini sukses menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955.
Pemilu pertama 1955 mengantar Zainul Arifin sebagai anggota Majelis Konstituante sekaligus wakil ketua DPR sampai kedua lembaga dibubarkan Sukarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.Memasuki era Demokrasi Terpimpin itu, Arifin bersedia mengetuai DPR Gotong Royong (DPRGR) sebagai upaya partai NU membendung kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) di parlemen. Ditengah meningkatnya suhu politik, pada 14 Mei 1962, saat salat Idul Adha di barisan terdepan bersama Sukarno, Zainul tertembak peluru yang diarahkan seorang pemberontak DI/TII dalam percobaannya membunuh presiden. Zainul Arifin akhirnya wafat 2 Maret 1963 setelah menderita luka bekas tembakan dibahunya selama sepuluh bulan.


 sumber : http://www.pahlawannasional.com/

SEJARAH SI SINGA MAHA RAJA


Dia seorang pejuang sejati, yang anti penjajahan dan perbudakan. Pejuang yang tidak mau berkompromi dengan penjajah kendati kepadanya ditawarkan menjadi Sultan Batak. Ia memilih lebih baik mati daripada tunduk pada penjajah. Ia kesatria yang tidak mau mengkhianati bangsa sendiri demi kekuasaan. Ia berjuang sampai akhir hayat.

Perjuangannya untuk memerdekakan ‘manusia bermata hitam’ dari penindasan penjajahan si mata putih (sibontar mata), tidak terbatas pada orang Tapanuli (Batak) saja, tetapi diartikan secara luas dalam rangka nasional.

Semua orang yang bermata hitam dianggapnya saudara dan harus dibela dari penjajahan si mata putih (sibontar mata). Dia merasa dekat dengan siapa saja yang tidak melakukan penindasan, tanpa membedakan asal-usul. Maka ia pun mengangkat panglimanya yang berasal dari Aceh.

Dengan dasar itulah, sehingga ketika pertempuran melawan penjajah Belanda di Balige tahun 1883, Si Singamangaraja XII berupaya mendekati serdadu Belanda yang antara lain terdiri dari saudara-saudara sebangsa dari Jawa yang jelas juga bermata hitam. Ia mencoba memberitahukan persaudaraan di antara mereka dibandingkan dengan orang Belanda, yang ketika itu diidentikkan dengan sekelompok etnis bermata putih yang suka melakukan penindasan.

Raja Si Singamangaraja XII yang lahir pada tahun 1849 di Bakkara, Tapanuli, sebuah daerah di tepian Danau Toba, ini diangkat menjadi raja pada tahun 1867 menggantikan ayahnya Raja Si Singamangaraja XI yang meninggal dunia akibat penyakit kolera. Sebagaimana leluhurnya, sejak Si Singamangaraja II, gelar Raja dan kepemimpinan selalu diturunkan dari pendahulunya secara turun temurun.

Sebagaimana dengan Si Singamangaraja I sampai XI, beliau juga merupakan seorang pemimpin yang sangat menentang perbudakan yang memang masih lazim masa itu. Jika beliau pergi ke satu desa (huta), beliau selalu meminta agar penduduk desa tersebut memerdekakan orang yang sedang dipasung karena hutang atau kalah perang, orang-orang yang ditawan yang hendak diperjualbelikan dan diperbudak.

Pada masa pemerintahannya, kegiatan zending pengembangan agama Kristen oleh Nommensen Cs dari Jerman juga sedang berlangsung di Tapanuli. Tidak begitu lama dengan itu, kekuasaan kolonial Belanda pun mulai memasuki daerah Tapanuli. Maka untuk menghadapi segala kemungkinan, ia pun mulai mengadakan persiapan-persiapan dengan mengadakan musyawarah dengan raja-raja serta panglima daerah Humbang, Toba, Samosir, dan Pakpak/Dairi.

Perang urat syaraf pun makin meningkat pada kedua belah pihak. Walaupun sudah dicoba, jalan damai sudah tidak dapat lagi ditempuh. Maka pada tanggal 19 Pebruari 1878 serangan mulai dilancarkan pasukan Si Singamangaraja XII yaitu rakyat Tapanuli sendiri terhadap pos pasukan Belanda di Bahal Batu, dekat Tarutung.

Pertempuran yang menewaskan banyak penduduk tersebut akhirnya memaksa pasukan Si Singamangaraja mundur. Tapi walaupun harus mundur dari Bahal Batu, semangat juang perlawanan pasukan itu masih tetap tinggi terutama di desa-desa yang belum tunduk pada Belanda seperti Butar, Lobu Siregar, Tangga Batu, dan Balige selaku basis pasukan Si Singamangaraja XII ketika penyerangan ke Bahal Batu.

Sebaliknya di pihak Belanda, dengan kemenangan di Bahal Batu tersebut, semakin berani mengejar terus pasukan Si Singamangaraja XII sampai ke desa-desa yang tidak tunduk pada kolonial. Dalam pengejaran tersebut, mereka selalu membakar desa dan menawan raja-raja desa. Akibatnya, pertempuran pun berkobar di mana-mana seperti di Sipintu-pintu, Tangga Batu, Balige, Bakkara dan sebagainya.

Bahkan dalam pertempuran kedua di Balige, Si Singamangaraja XII sempat terkena peluru di atas lengan, walau lukanya tidak sampai membahayakan nyawanya namun kuda putihnya si hapas pili mati ketika itu. Ia pun melakukan perang gerilia.

Dengan begitu, Si Singamangaraja XII pun terpaksa berpindah-pindah seperti dari Balige ke Bakkara kemudian ke Huta Paung di Dolok Sanggul, selanjutnya ke Lintong (kampung pamannya (tulang) Ompu Babiat Situmorang) dan kembali lagi ke Bakkara, begitulah terkadang berulang. Dan ketika kedua kalinya Si Singamangaraja XII menyingkir ke Lintong, Belanda pun menyerbu ke sana secara tiba-tiba pada tahun 1989.

Mendapat penyerangan yang tiba-tiba dan menghadapi persenjataan yang lebih modern dari Belanda, akhirnya perlawanan gigih pasukan Si Singamangaraja XII pun terdesak. Dari situlah dia dan keluarga serta pasukannya menyingkir ke Dairi, yang kemudian selama 21 tahun tidak mengadakan serangan terbuka pada pasukan Belanda.

Pada kurun waktu itu, beliau tetap mengadakan perlawanan dengan cara melakukan kunjungan ke berbagai daerah seperti ke Aceh dan raja-raja kampung (huta) di Tapanuli dengan maksud agar hubungan di antara mereka tetap terjaga terutama memberi semangat kepada mereka agar tidak mau tunduk pada Belanda. Akibatnya perlawanan oleh raja-raja terhadap Belanda pun kerap terjadi. Pihak Belanda meyakini, bahwa perlawanan yang dilakukan oleh raja-raja kampung itu tidak lepas dari pengaruh Si Singamangaraja XII.

Pihak penjajah Belanda juga melakukan upaya pendekatan (diplomasi) dengan menawarkan penobatan Si Singamangaraja sebagai Sultan Batak, dengan berbagai hak istimewa sebagaimana lazim dilakukan Belanda di daerah lain. Namun Si Singamangaraja menolak tawaran itu.

Sehingga usaha untuk menangkapnya mati atau hidup semakin diaktifkan. Dan setelah melalui pengepungan yang ketat selama tiga tahun, akhirnya markasnya ketahuan oleh serdadu Belanda. Dalam pengejaran dan pengepungan yang sangat rapi, peristiwa tragis pun terjadi. Dalam satu pertempuran jarak dekat, komandan pasukan Belanda kembali memintanya menyerah dan akan dinobatkan menja Sultan Batak. Namun pahlawan yang merasa tidak mau tunduk pada penjajah ini lebih memilih lebih baik mati daripada menyerah.

Dalam sejarah perjuangan nasional Indonesia, ia seorang pejuang yang tidak mau berkompromi dengan Belanda. Sehingga terjadilah pertempuran sengit yang menewaskan hampir seluruh keluarganya melawan penjajah. Patuan Bosar Ompu Pulo Batu atau Raja Si Singamangaraja XII bersama dua putra dan satu putrinya serta beberapa panglimanya yang berasal dari Aceh gugur pada saat yang sama yaitu tanggal 17 Juni 1907 di Sionom Hudon. Kedua putranya itu yaitu putra sulungnya Patuan Nagari dan Patuan Anggi sedangkan putrinya bernama boru Lopian, srikandi sejati yang masih berumur 17 tahun.

Raja Si Singamangaraja XII tepatnya gugur di hutan daerah Simsim, Sindias di kaki gunung Sitapongan, kurang lebih 9-10 km dari Pearaja, Sionom Hudon, Tapanuli, Sumatera Utara. (Disebut Sionom Hudon, sesuai dengan keenam marga yang menguasai daerah itu yaitu Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Pinayungan, Turutan, dan Anakampun). Jenazahnya mula-mula dimakamkan di Tarutung, kemudian dipindahkan ke Sopo Surung Balige.

Keluarga Si Singamangaraja XII yang turut gugur dalam pertempuran melawan kolonial Belanda tersebut bukan hanya dua putra dan putri yang sangat disayanginya tersebut, tapi tidak lama sebelumnya, abangnya yang bernama Ompu Parlopuk juga sudah gugur ketika melancarkan perang Gerilya tersebut. Demikian halnya dengan sang Permaisuri Raja Si Singamangaraja XII, boru Situmorang, juga telah lebih dulu meninggal tidak lama sebelum wafatnya Si Singamangaraja XII akibat keletihan bergerilya di tengah hutan.

Bahkan, Pulo Batu, cucu yang sangat disayanginya, harus meninggal di usia muda sebelum kakeknya. Raja Si Singamangaraja XII alias Ompu Pulo Batu (Ompu Pulo Batu merupakan penamaan yang diambil dari nama cucu laki-laki paling sulung dari putranya paling sulung, dalam hal ini Pulo Batu merupakan anak sulung dari Patuan Nagari), akhirnya harus sama-sama wafat dengan cucu yang sebelumnya sangat diharapkannya menjadi penerus perjuangannya itu.

Perang Batak yang dipimpin Si Singamangaraja XII di Tapanuli, Sumatera Utara yang pecah sejak tahun 1878 itu, akhirnya berakhir sudah. Sejarah mencatat, ketika gugurnya sang pahlawan ini yang menjadi Gubernur Jenderal yaitu pemangku jabatan Kerajaan Belanda yang tertinggi daerah kolonial di Nusantara adalah Gubernur Jenderal J.B.van Heutsz, sedangkan Gubernur Militer di Aceh yang mencakup Sumatera Utara adalah Jenderal G.O.E.van Daalen.

Dan dibawah pasukan Kapten Christoffel alias ‘Si Macan Aceh’, seorang berkebangsaan Swiss yang sebelumnya hanya merupakan serdadu bayaran, namun kemudian tahun 1906 menjadi warga negara Belanda, akhirnya sang pahlawan, Raja Si Singamangaraja XII gugur tertembak.

Kapten Christoffel yang melaporkan gugurnya Raja Si Singamangaraja XII di Tanah Batak kepada Gubernur Jenderal J.B.van Heutsz di Bogor ketika itu membawa bukti jarahan berupa Piso Gaja Dompak dan Stempel Kerajaan. Stempel kerajaan dan Piso Gaja Dompak pun secara resmi disampaikan oleh Bataviaaschap Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Lembaga Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan di Batavia) pada rapatnya tanggal 7 Agustus 1907 kepada Museum di Gedung Gajah (Jalan Merdeka Barat sekarang-red). Piso Gaja Dompak waktu itu diberi tanda nomor 13425.

Mengenai pusaka yang satu ini, beberapa kalangan anggota keluarga Raja Si Singamangaraja XII mengklaim, bahwa Piso Gajah Dompak yang sebenarnya masih disimpan oleh anggota keluarga. Sementara yang lain mengatakan bahwa salah seorang dari pihak boru (pihak dari anak perempuan) yang menyimpannya. Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa Piso Gaja Dompak itu telah menghilang ke langit.

Piso Gaja Dompak itu sendiri adalah satu keris yang panjangnya sekitar 60-70 cm dengan pegangan yang menyerupai patung gajah. Menurut keluarga Si Singamangaraja dan berdasarkan hasil penelitian berbagai sarjana, pusaka ini sudah ada sejak Si Singamangaraja I yaitu sekitar pertengahan abad XVI Masehi. Bersama stempel kerajaan, pusaka tersebut merupakan lambang penting dari pemerintahan Raja Si Singamangaraja I sampai ke XII.

Perang yang berlangsung selama 30 tahun itu memang telah mengakibatkan korban yang begitu banyak bagi rakyat termasuk keluarga Si Singamangaraja XII sendiri. Tapi walaupun Si Singamangaraja XII telah wafat, tidak berarti secara langsung membuat perang di tanah Batak berakhir, sebab sesudahnya terbukti masih banyak perlawanan dilakukan oleh rakyat Tapanuli khususnya pengikut dari Si Singamangaraja XII sendiri.

Di hati rakyat sudah tumbuh semangat kemerdekaan dari segala bentuk penindasan seperti yang sudah ditanamkan sang pahlawan. Namun perlawanan rakyat itu tidak lagi sebesar perlawanan yang dipimpin Si Singamangaraja XII, sebab Belanda sudah semakin banyak menguasai kampung-kampung. Di samping itu, ketika itu pemimpin perlawanan rakyat itu pun belum ada yang bisa menyamai Si Singamangaraja XII yang bisa menghimpun semua raja-raja di Tapanuli bahkan dari Aceh.

Sejak itu sejarah baru pun tertulis. Daerah Aceh dan Sumatera Utara bagian pedalaman yang sampai tahun 1903 masih belum bisa dikuasai Belanda dan bahkan sebelum wafatnya Si Singamangaraja XII pada tanggal 17 Juni 1907 itu, kekuasaan Hindia Belanda di Nusantara masih minus Sumatera Utara bagian pedalaman, akhirnya berakhir. Sejak itu lengkaplah seluruh wilayah Nusantara menjadi daerah jajahan Belanda sebab Sumatera Utara bagian pedalaman inilah yang merupakan daerah terakhir di Nusantara yang dimasukkan ke dalam kekuasaan pemerintahan penjajahan Belanda.

Pahlawan Nasional : Rasuna Said



Hajjah Rangkayo Rasuna Said (Maninjau, Agam, 14 September 1910  Jakarta, 2 November 1965) adalah salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dan juga merupakan pahlawan nasional Indonesia. Seperti Kartini, ia juga memperjuangkan adanya persamaan hak antara pria dan wanita. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

H.R. Rasuna Said adalah seorang muda yang mempunyai kemauan yang keras dan berpandangan luas. Awal perjuangan beliau dimulai dengan beraktifitas di Sarekat Rakyat sebagai Sekretaris cabang dan kemudian menjadi anggota Persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Beliau sangat mahir dalam berpidato yang isinya mengecam secara tajam ketidak adilan pemerintah Belanda, sehingga beliau sempat ditangkap dan dipenjara pada tahun 1932 di Semarang.

Pada masa pendudukan Jepang, beliau ikut serta sebagai pendiri organisasi pemuda Nippon Raya di Padang yang kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Jepang.

H.R. Rasuna Said duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat setelah Proklamasi Kemerdekaan, diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung sejak 1959 sampai akhir hayat beliau.

H.R. Rasuna diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden R.I. No. 084/TK/Tahun 1974 tanggal 13 Desember 1974.

H.R. Rasuna Said meninggalkan seorang putri (Auda Zaschkya Duski) dan 6 cucu (Kurnia Tiara Agusta, Anugerah Mutia Rusda, Moh. Ibrahim, Moh. Yusuf, Rommel Abdillah dan Natasha Quratul'Ain).

Namanya sekarang diabadikan sebagai salah satu nama jalan protokol di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

SEJARAH Pahlawan Nasional : Cut Nyak Dhien



Apabila bulan tersenyum/ Di atas bumi merdeka/ Dia adalah wajah Tjut Nyak Dhien Apabila angin berembus / Membelai bumi Mugo yang suci/ Dia adalah nafas Tjut Nyak Dhien (Balada Tjut Nyak Dhien, WS Rendra)

Cut Nyak Dhien adalah ikon perempuan pejuang dari Aceh. Lahir di Lampadang, 1848, putri Teuku Nanta Setia, seorang hulubalang VI Mukim, yang masih keturunan Mahmud Sati, perantau dari Sumatera Barat.

Pada usia 12 tahun, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga, seorang uleebalang yang terlibat perang melawan agresi Belanda pertama, 6 April 1873 di Kutaradja.

Perang terdahsyat

Dalam buku Paul Van’t Veer, De Atjeh Oorlog, perang itu digambarkan sebagai satu dari empat babak peperangan terdahsyat Belanda di Aceh. Teuku Lamnga ikut dalam aksi merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dikuasai Belanda, 10 April 1873.

Ia juga menjadi saksi saat panglima perang Belanda, Mayor Jenderal JHR Köhler, tersungkur oleh peluru pasukan Aceh. Ucapan terakhir Köhler, 0, God, ik ben getroffen!! (”Ya Tuhan, aku tertembak”).

Sepeninggal suami pertama yang tewas dalam pertempuran di Gle Tarum, Aceh Besar (1878), Cut Nyak Dhien diperistri Teuku Umar. Pasangan ini tidak pernah serasi, apalagi saat Teuku Umar membelot ke Belanda, 1893. Mereka ”bercerai” kala Umar memilih memperluas kekuasaan bersama Belanda dan digelari Teuku Djohan Pahlawan.

Namun, dasar Umar. Ia bukan abdi dalem yang setia. Tahun 1896 ia kembali menusuk Belanda dari belakang ketika stamina logistik dan militernya telah cukup kuat. Umar akhirnya tertembak pasukan Belanda, 11 Februari 1899, meski tidak pernah diketahui apakah meninggal saat itu juga. Ia menjadi mitos menyejarah dalam perlawanan Cut Nyak Dhien.

Seperti kisah pengkhianatan yang lekat dalam sejarah, Cut Nyak akhirnya tertangkap oleh informasi pang laot Ali. Di tengah hujan lebat petang 4 November 1905, ia disergap di Babah Krueng Manggeng, Aceh Barat. Pemerintah Belanda memutuskan melepaskannya dari ”akar perjuangan” dan diasingkan ke Sumedang. Di usia renta ia mengajar mengaji anak-anak dan ibu di Sumedang. Mereka hanya mengenal Cut Nyak dengan panggilan Ibu Perbu (ibu ratu) dan tak pernah tahu perjuangannya di tanah utara Sumatera itu. Ia wafat 6 November 1908, dikubur di kompleks makam para raja, Gunung Puyuh.

Memori yang terlupa

Kisah Cut Nyak Dhien mirip ungkapan Mahmoud Darwish, ”memori yang terlupa” (memory of forgetfulness). Keberadaannya sempat hilang dari peredaran sejarah Nusantara. Pemerintah Aceh baru ”menemukan” makam Cut Nyak Dhien tahun 1959 ketika Ali Hasjmy mengunjungi perpustakaan Leiden, Belanda, dan menemukan fakta pembuangan itu.

Padahal, sejarah tentangnya mengalir deras bak Sungai Wolya dalam syae (cerita) masyarakat Aceh. Sekian lama ia dikisahkan oleh masyarakat, tetapi tidak pernah ”terhistorisasi”, dianggap mitos oleh masyarakat nasional dan elite. Bahkan, ketika akhirnya dikukuhkan sebagai pahlawan nasional melalui SK Presiden Soekarno No 106/1964, makamnya tidak seperti cagar sejarah nasional. Pemerintah tak pernah membiayai makam dan rumah tempat pengungsian yang ternyata masih milik pribadi keturunan yang mengurus Cut Nyak masa itu. Pernah suatu masa makamnya sepi karena terlalu banyak aparat berjaga-jaga dan menginterogasi pengunjung setelah muncul Gerakan Aceh Merdeka (1976).

Sebenarnya sejarah harus berjalan di aras moralitas utama: bukti dan fakta, dan mendemistifikasi segala hal yang tak terkait pada pencarian kebenaran (seks, ras, dan etnis). Keetnisan Aceh telah menyebabkan apa yang muncul dari masa lalunya dianggap terlalu dibesar-besarkan, dilebih-lebihkan. Dalam ungkapan Robert F Berkhofer, ”Sejarah tidak bisa didenaturalisasi.” Ia harus hidup meski berupa cerita yang bersambung-sambung di sebuah komunitas, minoritas sekalipun, dan disampaikan secara oral. Status borjuis sejarah, kata Roland Barthes, harus dipatahkan oleh kemauan keras mendengar hal-hal khusus yang terdapat di masyarakat lain.

Kiranya ingatan atas Cut Nyak Dhien saat ini perlu diperbarui total. Yang dibutuhkan adalah dekonstruksi simbolis atas kisah perlawanannya dan bukan mengingat sifat keras kepalanya dan menganggap sebagai inti kebudayaan Aceh. Bukti atas masa lalu memang tidak bisa digoyang. Sejarawan telah merekonstruksi masa lalu sebagai ”ilmu” bagi kita yang butuh ingatan. Yang mungkin dilakukan adalah memperbarui tafsir atas masa lalu agar ia bertenaga di masa kini.

Heroisme Cut Nyak harus terhargai sebagai pengorbanan Aceh atas bangsa ini. Seperti juga pengakuan atas Kartini, Rasuna Said, dan Dewi Sartika sebagai pahlawan-pahlawan wanita nasional.

Mengingat sejarah hanya ada sejarah manusia, maka, merunut pemikiran Max Weber, sejarah Cut Nyak harus selalu dipilin dan dipintal dalam jaring-jaring makna. Tugas kitalah memperbarui makna itu pada haul seabad wafatnya. Seperti puisi Rendra di awal, yang lahir setelah mendengar cerita seorang sahabatnya, pelukis ekspresionis Aceh, Lian Sahar, dan membayar kreativitasnya Rp 25 pada tahun 1957.

Flag Counter
anekahosting.com web hosting murah terbaik di indonesia

 

Musik

Baner




backlink Sandaran Hati